Ratu Tak Bermahkota, Bertelapak Kaki Surga
Lembayung senja telah beristirahat dipangkuan langit malam. Gemuruh guntur bersautan membuat malam semakin mencekam, hitam suram. Derasnya tangisan langit menambah nyanyian alam bergema suram. Seram menghujam tajam. Pohon-pohon tinggi menjulang dengan dedaunan rimbun, tampak seperti bayang-bayang saat tersapu cahaya malam.
Duarrr.........! Kilat cahaya menyambar, sekilas jalanan di depanku tampak terang walau sesaat. Semua itu tidak menyurutkan semangatku mengayuh sepeda tua milikku. Sembari ku lafalkan doa didalam hati. Aku harus segera pulang, beliau pasti sudah menungguku di teras rumah.
Tubuh renta yang jarang dibalut selimut tawa. Terkadang benih luka nampak jelas disudut netra. Namun, beliau bungkus senyum tulus diwajahnya. Perempuan kuat yang sering kecewa, karena sikap yang aku buat.
Aku masih mengayuh sepeda usang itu ketika semilir angin membelai wajah, bersama tetesan tangisan langit. Sepi dan gelap menemani perjalananku dari Desa Ngangkatan kearah barat menuju Desa Rejoso. Dua desa di Kabupaten Nganjuk yang saling terhubung melalui jalan Raya Nganjuk - Bojonegoro. Hanya Tersekat satu desa,yaitu Desa Talang. Jalanan yang hampir setiap hari aku lewati saat mengantar pesanan maupun berjualan keliling donat buatan ibu. Aku Masih melanjutkan perjalanan ini kala tangisan langit sedikit mereda, menyisakan rintik gerimis. Sambil merapatkan dekapan pada jaket usang bertuliskan merk sepeda motor. Takut jika uang pesanan donat ibu jatuh dijalan. Jika itu terjadi maka, esok tak ada lagi modal berjualan.
Sampai jembatan pertama timur Desa Talang, rantai sepedaku putus. Dengan berat hati aku mendorong sepeda itu. " Oalah jengki-jengki, kamu kok rusak sih! ini masih jauh, jalanan sepi. Lain kali kalau rusak pas dirumah saja, jangan begini. Diajak cari duit kok ngambek kamu itu." Kataku pada si jengki, sepeda tua kesayanganku. Saat memarahi si jengki, ban depan sepedaku melindas sebuah barang, persegi panjang, Warnanya merah merona bak bibir Bulek Lastri sebelah rumah. Aku menimbang isinya lumayan berat. Bentuknya mirip tempat pensil anak sekolah. "Bawa pulang sajalah, siapa tahu berguna nanti dirumah", ucapku dalam hati. Aku pun melanjutkan langkah sembari mendorong si jengki menuju rumah.
Disudut teras dengan lampu yang sedikit redup, senyum teduhnya menyambut langkahku. Senyum itu yang selalu membuat semangatku untuk segera kembali ke gubuk kecil ini.
"Assallammuallaikum" ucapku.
"Waalaikumsalam Lis, kok malam sekali baru sampai rumah nak?." Tanya ibu, ( oh iya, ibu memanggilku 'Lis' karena namaku Wilis Indraswari. Sebuah nama cantik kado terindah dari kedua orang tuaku, ketika aku dilahirkan).
"Hujan bu, rantai si jengki juga putus tadi." Jawabku sembari mencium punggung tangan malaikat tak bersayap itu.
"Ya sudah. Kamu mandi, ganti baju lanjut nanti makan!" Kata ibu.
"Siap kanjeng ratu" ucapku bercanda pada ibu.
Selesai mandi ku ambil uang pesanan donat tadi, sambil melihat si persegi panjang, merah merona. Pelan kubuka, ada sebuah hp, berlembar-lembar kertas warna pink kemerahan bergambar Bapak Ir. Soekarno dan Bapak Mohammad Hatta yang sedang tersenyum manis, serta SIM dan KTP.
Sisi gelap di hatiku mulai merayu, "wah banyak sekali duitnya, bisa untuk beli beras, ayam, telur, jaket baru. Udah bisa makan enak pakai baju bagus juga."
"Jangan Lis, itu bukan hak mu. Yang punya dompet pasti bingung mencarinya saat ini." Sisi baik di hatiku memberontak.
"Halah yang punya pasti orang kaya, gak bakal nyariin itu. Udah gak usah lama-lama, kapan lagi kamu makan enak, baju bagus, belum tentu besok nemu dompet dan duit banyak." Sisi gelap merayu lagi.
"Jangan Lis, itu bukan milikmu. Bukan hasil jeri payah mu, dosa Lis"
"Halah, ngapain mikir dosa? Kebanyakan mikirin dosa, perut kamu gak bakal kenyang."
"Ingat Lis, dunia ini sementara. Akhirat kekal selamanya."
Belum usai berperang isi hati dan pikiran yang berantakan. Ibu sudah memanggilku untuk makan bersama.
"Tidak dihabiskan Lis?, Makanannya tidak enak ya?" Tanya ibu
"Enak bu, Wilis sudah mau selesai." Jawabku.
"Kamu ada masalah Lis?" Ibu mulai curiga.
"Tidak bu, maaf Wilis tidur dulu ya bu? Wilis ngantuk. Selamat malam bu." Aku segera berlalu, menghindari tatapan teduh ibu.
Dalam kamar ku ambil kembali dompet itu, uangnya total 35 lembar, handphone dengan gambar apel tinggal separo bagian belakang. Handphone itu keadaan mati, aku tak berani pencet apapun. Takut tambah rusak, karena handphone itu keadaan mati. Entah habis daya, rusak kena hujan atau terlindas ban sepedaku. Aku tidak mengerti, ini pertama kali aku memegang handphone. Seumur-umur hanya bisa melihat. Jangankan memiliki, bermimpi saja tidak berani. Bisa makan sehari hari saja aku dan ibu sudah sangat bersyukur. Ku pandangi semua barang itu. Sisi gelap di hati kembali memberontak, membujuk dengan rayuan maut yang menyesatkan.
"Lihat Lis, handphone yang berkilau itu bisa kau pakai untuk pamer pada tetanggamu yang suka menghinamu! Kamu bisa menunjukkan pada mereka yang sok kaya itu, bahwa kamu juga bisa beli handphone, makan enak dan pakai baju bagus. Cepat pakai uang itu Lis, jangan bodoh dan munafik Lis. Hidup itu perlu dinikmati". Rayuan sisi gelap hatiku.
Sisi baikku "jangan Lis, dosa Lis. Apa kamu mau membuat ibumu kecewa Lis? Ingat Lis, sakit hati dan murka ibumu, itu akan membuat Allah ikut murka kepadamu."
"Arrrggghhttttt........" Tak mau semakin pusing kepala. Aku bereskan semua barang itu kedalam kresek hitam, lanjut tidur . Agar tak lagi kudengar bisikan maut yang semakin membuat hatiku tak tenang.
Detik jam berlalu. Sayup kudengar lantunan ayat suci yang dibaca ibu. 02.00 WIB, kebiasaan kami hampir setiap hari selain ibadah wajib. Kecuali, saat kami berhalangan. Lekas kuambil wudhu, dan sholat sunnah 2 rakaat disamping ibu.
"Lis, kenapa? Ibu lihat kamu dari pulang semalam sedikit tidak fokus? Ada masalah apa nak?" Tanya ibu, saat kucium punggung tangan ratu tak tak bermahkota itu. Airmata ku pun menetes ditangan keriput beliau.
" Maafkan Wilis bu. Wilis tidak bermaksud bohong kepada ibu. Wilis harap ibu tidak marah setelah nanti Wilis cerita dengan jujur." Ujarku sembari menunduk, tak berani aku menatap wajah sendu ibu. Lekas aku menceritakan semua, dari awal kutemukan si merah merona. Tak ada satupun yang aku tutupi pada ibu. Termasuk keinginan memiliki handphone dan uang yang ada dalam dompet tersebut.
"Kamu tahu kenapa almarhum bapak dulu memberimu nama Wilis Indraswari?" Tanya ibu padaku.
Aku hanya bisa diam dan menggeleng kepala.
"Wilis itu karena kamu lahir dirumah nenekmu. Di Dusun Tawang, Desa Bajulan. Kecamatan loceret, Kabupaten nganjuk. Tepat di Lereng Gunung Wilis. Indraswari bermakna anak perempuan yang baik dan mengutamakan kejujuran. Jadi almarhum bapak dulu, sangat berharap kamu menjadi anak perempuan yang baik dan jujur." Nasehat ibu padaku.
"Tapi bu! Dengan uang itu ibu bisa beli perhiasan, kita bisa makan enak, baju baru dan handphonenya bisa aku pamerkan pada tetangga yang suka menghina kita bu." Jawabku
"Lebih baik kita mati kelaparan, daripada kenyang makan tulang dan keringat orang, artinya kita lebih baik makan seadanya tapi hasil kerja sendiri, daripada makan enak namun bukan hasil kerja keras kita sendiri. Kamu paham kan maksud ibu???" Tanya ibu dengan tegas padaku. "Paham bu, maafkan Wilis bu?" Ucapku. "Kembalikan ya nak! Insyaallah ibu masih sanggup memberimu makanan halal walau tidak mewah. Coba kamu lihat identitasnya, kalau dekat nanti kamu antar sendiri. Kalau jauh nanti kita antar bersama." Kata ibu. "Siap bunda ratu" candaku sambil lari ke kamar. Kubuka kembali kresek hitam, tempatku menaruh si merah dan kawan-kawannya.
Endah Setyowati. "Allahuakbar" lemas sudah tubuhku,luruh disamping dipan kamar. "Ya Allah, ini dompet Mak Haji." Orang yang sangat baik. Beliau selalu pesan donat ibu saat punya acara. Tak jarang beliau memberi lebih uang pesanan donat. Bahkan beliau selalu membungkus makanan yang ada di setiap acara beliau, untuk kami berdua. Hampir saja aku mengambil barang milik orang yang sudah sangat baik padaku dan ibu. "Maafkan aku Ya Allah, aku khilaf."
Hawa dingin menusuk bathin,dari sekujur raga yang terbelenggu suasana pagi. Usai menunaikan 2 rakaat wajib, kutemui ibu di dapur. "Bu, dompetnya ternyata milik Mak Haji Endah. Mau Wilis antarkan pagi ini bu, biasanya Mak Haji menyiram bunga didepan kalau habis subuh begini." Kataku
"Ya sudah, antarkan sana! Ingat Lis, katakan sejujurnya dimana dan kapan kamu temukan dompet itu. Biar Mak Haji pastikan dulu isinya, setelahnya langsung pulang ." Pesan ibu
"Baik bu, wilis berangkat dulu. Assallammuallaikum."
"Waallaikumsalam"
20 menit berjalan sampailah aku dirumah mak haji. Rumah yang berdiri tegak ditengah kebun bunga mawar dan lili. Atapnya runcing mencakar langit. Tak jauh dari tempatku berdiri, kulihat Mak Haji sedang menyapa hamparan mawar dan lili miliknya. Selang panjang ditangan kanan beliau, sambil bersenandung lantunan sholawat.
"Assallammuallaikum Mak Haji?"
"Waallaikumsalam Lis, ada apa cah ayu?"
"Ini mak haji, Wilis mau mengantarkan ini." Kuserahkan si merah merona kepada Mak Haji.
"Alhamdulilah Lis, ini dari semalam mak cari kemana-mana tidak ada."
Akhirnya aku menceritakan awal dan dimana kutemukan dompet itu. " Silahkan dilihat isinya dulu mak, takutnya ada yang kurang." Ucapku.
"Alhamdulilah Lis, isinya utuh semua. Ini buat kamu jajan ya! Terimakasih banyak sudah mengembalikan dompet mak yang jatuh." Mak Haji memberikan beberapa lembar uang merah padaku sebagai ucapan terimakasih.
"Tidak mak, Wilis ikhlas." Kucium punggung tangan beliau sambil segera berlalu untuk pulang. "Wilis pulang dulu mak, assallammuallaikum."
"Waallaikumsalam"
Aku menyusuri jalanan aspal hitam,ditemani semilir hawa sejuk pagi itu. Tak sampai 20 menit, dari jauh kulihat ratu hatiku sedang duduk manis di teras dengan senyum teduhnya menyambut kedatanganku.
"Assallammuallaikum."
"Waallaikumsalam Lis, sudah selesai antar dompetnya nak?"
"Alhamdulilah sudah bu. Mak Haji bilang terimakasih banyak tadi." Ucapku sembari mencium punggung tangan keriput itu.
"Nah, sekarang sudah tidak ada beban pikiran lagi kan?"
"Alhamdulilah, terimakasih ya bu selalu sabar menghadapi Wilis yang suka bandel ini. Wilis sering buat ibu susah. Dan maafkan Wilis belum bisa membuat ibu bangga serta bahagia."
"Lis, baik buruknya kamu. Gagal ataupun berhasil, kamu tetap anak ibu. Sudah kewajiban ibu menasehati kamu. Ibu sudah cukup bahagia melihatmu tumbuh dewasa, ibu juga bangga kamu bisa jadi pribadi yang jujur."
"Ah... Ibu, Wilis jadi terhura, eh kliru. Terharu maksudnya. hehehe... Love you ibu kanjeng ratu." Candaku sambil memeluk ibu
"Sudah-sudah, ayo kita sarapan! Kelamaan diluar nanti kelaparan ditambah masuk angin."
Tamat
#TugasPekan4
#MasaOrientasi
#SMNBacth8
#Kopling
Bagus sekali kak cerpennya
BalasHapusTerimakasih kak Rizal
BalasHapusBagus kak
BalasHapusTerimakasih kak nurul fitriyah.
HapusBagus kk cerpen'a..sudah lama juga saya tidak baca cerpen ataupun novel ini..
BalasHapus